Malam ini ia tak bisa tidur cepat, beberapa
kali ia coba. Beberapa doa ia ucapkan, berharap membuatnya segera terlelap
tidur. Namun, apalah daya semua itu tak mempan untuknya malam ini. Barangkali, beberapa hari terakhir ini ia teringat
kepada temannya, sedikit gusar memikirkan akan rasa bersalahnya, beberapa kali
dalam hati berucap permohonan maaf atas telah “mungkin” membuatnya kecewa. Ia
lakukan demikian karena ia sedikit berusaha untuk mengikuti kata hatinya untuk
kali ini ia harus melakukan apa yang ia rasa nyaman. Ia tak ingin “terpaksa”
menyenangkan orang lain, tapi hatinya tak sepenuhnya nyaman melakukannya.
Terlebih jika tidak ada rasa “menyayangi” selayaknya terhadap teman. Hanya
sebatas perduli satu sama lain terhadap manusia.
Lalu, berpikir tentang teman, seberapa detik
kemudian ia mengehela nafas panjang, Ia teringat teman-teman terdekatnya, ia
memejamkan mata terbayang senyuman dan tertawaan teman-teman terdekatnya. Ah,
begitu ia amat merindukan menatap senyuman dan tertawaan teman-teman
terdekatnya, menatap keduanya di mereka adalah sebuah kebahagiaan yang tiada
tara. Begitu indah, terasa sekali nikmat bahagianya. Ia titipkan bagaimana
kabar mereka kepada Maha Pemilik. Semoga mereka selalu dalam keadaan sehat
wal’afiyat, selalu dalam lindungan-Mu, Allah. Mungkin bagi sebagian orang-orang
hal ini terdengar biasa saja atau bahkan berlebihan. Tapi tidak bagiku.
Tak cukup disitu, ia juga merindukan pelukan
hangat teman-teman terdekatnya iya seringnya ia lebih memilih memeluk temannya
ketimbang bersalaman saat di setiap ujung pertemuan. Ia merasa memeluk lebih
memberikan kesan hangat juga memberikan kesan bahwa... ah entahlah apa
bahasanya, susah sekali untuk menterjemahkan kesan itu. Sejujurnya awal mengapa
lebih memilih untuk memeluk adalah karena beberapa tahun silam lamanya, ia pernah ragu
dan malu untuk memeluk teman dekatnya di ujung pertemuan, sesampainya di dalam
mobil Bis selama perjalanan ia amat menyesali sekali kenapa ia sangat ragu
untuk mendekapnya, padahal itu sangat mudah dilakukan, seharusnya ia lebih
cepat memahami terkadang dalam banyak hal termasuk pertemuan tidak terjadi
untuk kesempatan kedua. Benar, sampai sekarang kesempatan kedua itu belum Allah
hendaki, dan sampai sekarang ia masih merasa menyesal atas rasa malu dan
keraguannya kala itu. Semenjak saat itu, hal itu tak ingin terjadi di ujung
pertemuan-pertemuan lainnya. Tidak, ia tak ingin merasakan sesal yang
berkepanjangan itu, sesal yang tak berkesudahan dengan teman-teman terdekatnya
hanya karena malu dan ragu.
Ia berhenti sejenak dari tarian jemarinya, ia
melirik jam. Ini sudah pukul 12.44 AM waktu beranjak menuju pagi akan semakin
cepat dan aku masih terlelap di sepan layar. 2 jam 30 menit lagi waktu sahur
dan ia masih saja belum beranjak dari rangkaiannya, iah masih termangu masih
saja melanjutkan kalimatnya. Ia mendongakan kepalanya, menatap lamat sejenak
dinding. Ia harus segara tidur,
paksakan. Berharap bermimpi indah dan menatap esok hari, lusa dan hari
seterusnya dengan harapan yang baru dan tentunya lebih baik lagi. Bukankan
begitu setiap manusia baiknya berharap?
2
Mei 2020
What a short insight, it hits me hard. 😥
ReplyDelete